Sejauh kita melangkah, titik awal adalah landasan perjalanan. Setiap langkah membawa cerita, setiap pulang adalah kembalinya pengalaman.
ILUSTRASI. Jakarta (DALL.E) |
730 hari lebih menjejakkan kaki di Kota Kolaborasi. Ibarat rangkuman, suka, duka, dan cita, menjadi padu. Mewarnai perjalanan yang tak melulu selalu indah dan buruk.
Setiap langkah menciptakan perputaran waktu. Hukum alam mengatakan itu. Apa yang kita temui dan rasakan di setiap penjejakan, menjadi proses internalisasi nilai.Dalam interaksi, ada khilaf, ada janji yang tak tertepati. Pun ada kata laku tak berkenan. Tak ingin menglumrahkannya, namun apalah daya, sebagai manusia itu mungkin terlakukan.
Dari kemungkinan-kemungkinan itulah, maka izinkanlah saya mengetuk hati dan berharap dibukakan kata maaf. Tak sekadar kata, tetapi ketulusan dari lubuk hati.
Malam ini, saya memilih memandang gambar latar seorang pria memakai topi dengan senyum khasnya di komputer yang saban hari kugunakan mengolah informasi dan mengubahnya menjadi berita kepada khalayak pembaca.
Gambar itu akan segera berganti. Seperti kita melangkah, ada titik sebagai awal dan kembali pula pada pijakan awal. Demikian halnya dengan gambar latar itu, kembali ke pengaturan awal.
Maka, ijinkanlah saya mohon diri dari Kota Jakarta, kota dengan belantara hutan betonnya, kota kolaborasi dengan ragam suku, etnis, dan budayanya.
Kembali ke kampung halaman, Kota Daeng dengan Anging Mammiri-nya, angin semilir yang selalu membawa pesan kerinduan.
Rindu kampung halaman dan kerinduan menuntaskan hasrat mencicipi Coto, Konro, Pisang Epe sembari menyeruput Sarabba.
Assauna dottoro! Wassalam.